Sabtu, 03 Juli 2010

Wednesday

Entah dengan kata apa aku harus memulai. Yang jelas masih dalam konteks mengeja dan membaca dari apa yang direfleksikan cermin-cermin kehidupan yang sempat aku perhatikan. Aku nggak pernah bilang apakah ini ejaan atau hasil bacaan yang benar. Aku senang istilah “mengeja dan membaca” dengan tidak melupakan kata ‘belajar’ pada kata sebelumnya, karena istilah tadarrus pernah sempat kau mempertanyakannya. Mungkin karena aku sangat perasa atau lebih tepatnya sensi banget, pertanyaan itu terdengar bernada sangat minor penuh emosi dan nggak bersahabat. Aku pun cukupkan memakainya setelah itu. “Tadarrus yang nggak usai melengkapi catatan hidupkku”. Bukan berarti tanpa dasar aku sekarang lebih senang dengan istilah ‘belajar mengeja dan membaca’. Aku sengaja tidak membicarakannya agar kamu tidak bingung lagi harus membalas apa dan bagaimana seperti biasanya setelah membaca tulisanku. Kamu boleh mempertanyakannya kalau mungkin dengan 5W dan 1H plus dengan kombinasi-kombinasinya.Kalau kemarin aku ucapkan terima kasih, sekarang pun tetap sama walau obyek refleksi cermin-cermin itu mengajakku menengok ke dalam. Realitanya tuhan telah menciptamu dan Dia telah mengizinkanku mengenalmu sehingga kamu, sekali lagi, menjadi media bagiku untuk ‘belajar mengeja dan membaca’ malam ini. Aku berharap tulisan kemarin membawa satu ketenangan baru dalam hidupku. Ternyata… entah suara apa atau siapakah ia yang memaksaku masuk pada kegelisahan baru. “Benarkah ini bentuk kepasrahan? Benarkah ejaan dan hasil bacaanmu itu ado? bukankah Dia menciptakan segala kemungkinan rasional sekaligus irasional? Dengan satu ejaan dan bacaan kemarin bukannya itu berarti kamu telah, dengan bukan bahasa verbal, mengatakan bahwa ejaan dan hasil bacaan ini benar? Sombong banget. Bahkan itu juga memungkinkan dimaknai kamu putus asa akan nikmat-Nya dan bukanya malah pasrah? Benarkah dengan tidak lagi berani mengharapkannya merupakan jaminan kamu telah mensyukuri nikmat-Nya? Bukankah dengan tetap berusaha sedaya upaya, tentunya yang tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan-Nya, kemudian menyerahkan apa pun hasilnya adalah makna dari pasrah yang sesungguhnya? Sebenarnya kamu cuma cari alasan pembenar tindakanmu saja kan ado..? pada dasarnya kamu itu pengecut, kamu tidak berani memperjuangkan perasaanmu. Kalau tidak demikian, lantas mengapa hari-harimu selalu dibayangi anak itu? otakmu penuh memikirkan anak itu. kamu kehilangan kewarasanmu. Belum tentu ia di sana ingat kamu. Kamu hanya takut akan kesan negatifnya padamu kan? Kamu egois banget. Kenapa mesti takut? Bukannya ia sering bilang “biasa aja”? kenapa kamu masih tidak percaya biasanya itu benar-benar biasa? Kamu selalu menuruti perasaanmu yang menganggap itu ‘biasa yang tidak biasa’. kamu memang sulit untuk mengerti dan dimengerti, ………………………………………………………………………………………………………….”Semua ini sangat melelahkan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ku tulis. Tapi, entah mengapa aku jadi malaassssssssssssssssssssss banget. Aku hanya ingin kamu ucapkan selamat tidur padaku dari mengingatmu. Setelah itu kamu boleh tertawa sepuasmu. Kabarkan pada semua orang bahwa aku memang tidak pantas untukmu. (Maaf untuk yang ini)

kesalahanku adalah aku berpikir kalo aku penting sehingga aku mesti peduli dengan kesan orang. padahal kenyataannya aku nggak pernah penting. terserah kamu mau bagaimana. semuanya uda nggak penting. silahkan berbuat sesuka hati kamu. mau biasa oke, biasa yang nggak biasa pun oke.

Me

facebook aku