Jumat, 16 Januari 2009

Teriak yang menenangkan

Kemaren aku menambah lagi daftar sejarah perjalanan hidupku, menyelusuri sebuah tempat baru yang aku tak tau tepatnya, derit becak yang aku tumpangi sangat aku hayati, menikmati setiap putaran roda yang terus membawaku menulusuri jalan berbatu, aku menikmati setiap detail yang tuhan suguhkan kemarin, memejamkan mata dalam pekat hatiku sendiri, berjalan bersama orang yang sedang merasakan hal yang sama denganku merupakan hal yang semakin membuat aku tau bahwa tidak hanya aku, dan bukan cuma aku.
Bukan hanya aku yang merasa, dan tidak satu-satunya aku yang bisa agak lama terdiam, hal tersebut bisa saja terjadi pada setiap orang, bahkan hampir semua akan merasakannya.
Sendiri, tak ada yang mengerti, tak ada yang mau memahami, sepi, tak berani percaya pada siapapun, tak berani bercerita pada mahluk tuhan manapun, terasa teronggok tanpa teman. Itulah yang aku rasakan, dan perasaan inilah yang kemudian menuntun langkahku untuk berjalan ke tempat yang mengizinkan aku teriak, sekencang-kencangnya, sampai tenang, sampai beban ini hilang.
Diantara air dan rumput aku berfikir
"Adakah sebuah damai yang kembali akan aku temui???"
Sisi sadar aku berbisik, mengatakan bahwa lari bukan satu solusi, bahwa berteriak buka satu obat. Sebuah kesalahan besar bagiku jika aku berusaha untuk lari, sebuah kealpaan besar bagiku jika aku hanya ingin mencari tempat untu berteriak. Air dan rumput bisa hidup berdampingan adalah bentuk kedamaian yang tuhan suguhkan, membuatku menatap dan berusaha memahami
"Siratan pesan apakah yang ingin tuhan sampaikan?"
Kembali aku tergugu pada suatu keyakinan yang sepertinya belum 100% aku yakini, "Kesendirian yang kemarin aku rasa sangat bisa aku atasi" sebuah rasa ingin yang dengan penuh haru aku tanamkan, ingin yang aku harapkan dapat benar-benar kurealisasikan dalam hidupku, yang kemudian dengan mengepal tangan sekuatku aku berusaha bangkit dan menyunggingkan senyum, meski pada awalnya terasa gamang, namun benar-benar aku bertarung, bertarung dengan penat dan jengah jiwaku sendiri, inilah pertarungan dua sisi yang sangat aku benci.
Benci ketika ada dua hal yang membuat jiwaku tak rukun, dan membuat semuanya menjadi kacau, kekacauan yang berkecamuk tanpa ada jendela tempat api mengalir pergi. Namun semua itu dengan terpaksa aku nikmati, sampai rasa ini benar-benar terasa mati.
Beberapa pilihan yang mungkin masih bisa aku pilih ketika galau, jengah, penat, resah, dan kacau menyapaku, entah yang mana yang masih dapat kukuatkan untuk ku jalani, akankah aku dia menutup telinga dan kemudian mulai menangis, atau aku harus menutup semuanya dengan senyum yang kemudian menyakiti jiwaku sendiri, atau aku harus lari dan pergi untuk kemudian harus kembali dan merasa sakit lagi, atau aku lakukan pilihan terakhir yaitu diam pejamkan mata dan kepalkan tangan seraya membisiki jiwaku sendiri dengan satu kata yang tak pernah terasa ampuh bagiku "Kamu kuat Cle!!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Me

facebook aku